Menengok Ke Belakang Untuk Maju Ke Depan
17 Nopember 2008 21:50:35
Oleh: A. Mustofa Bisri
“Haasibuu anfusakum qabla an tuhaasabuu”, Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. (Sayyidina Umar Ibn Khaththab r.a.)
Menjelang akhir tahun, ada baiknya kita menengok sejenak ke belakang untuk keperluan memperbaiki atau menyempurnakan langkah kita ke depan Tahun ini, isu politik dan tingkah-polah para politisi masih dominan. Terutama, tentang banyaknya tokoh yang mencalonkan dan mengiklankan diri sebagai pemimpin negara, pemimpin daerah, maupun “wakil rakyat”. Juga, tentang tersangkutnya banyak politisi dalam kasus korupsi. Sedemikian dominannya, sehingga isu tentang krisis global sekalipun tidak mampu mempengaruhinya.
Saya sendiri heran dan bertanya-tanya, apa sih yang terjadi di negeri ini dan bangsa ini? Kalau dibilang negeri ini carut-marut dan mengalami krisis kepemimpinan, mengapa banyak tokoh yang kepingin memimpin atau tepatnya kepingin dipilih menjadi pemimpin? Kalau dibilang citra politisi dan legislatif sedemikian buruknya, mengapa orang masih berebut mencalonkan diri sebagai caleg, termasuk artis-artis? Kalau mereka semua itu bicara tentang kemiskinan rakyat, mengapa harta mereka yang berlimpah hanya untuk mengiklankan diri atau sekedar “investasi kedudukan”?
Di tahun ini, peringatan-peringatan seperti Hari Kemerdekaan, Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, dan Hari Pahlawan; gaungnya-dan perhatian masyarakat terhadap maknanya-masih kalah dari misalnya peringatan Hari Valentine. Persoalan-persoalan mendasar seperti kemanusiaan, kebangsaan, kemiskinan dan keterbelakangan terdesak oleh isu-isu tentang Ahmadiyah dan “aliran sesat”, pornografi dan “jihad fi sabilihizbi kullin wara’yihi”.
Yang mengusik perhatian dan boleh jadi bahkan menggetarkan sanubari kita, adalah terus-menerusnya fenomena kekerasan dan kebencian, termasuk yang muncul dari mereka yang merasa dan mengaku umat Nabi Muhammad SAW. Nabi agung yang lembut, santun dan penuh kasih sayang. Peristiwa-peristiwa yang menjadi tajuk berita di negeri kita akhir-akhir ini yang berkaitan dengan sikap keberagamaan, sungguh perlu mendapat perhatian terutama dari para pemimpin dan ahli agama.
Kekerasan yang dilakukan oleh para pengikut aliran yang merasa diri paling dekat dengan Allah dan paling benar sendiri, merupakan tanggungjawab para pemimpin agama, bukan saja-meskipun terutama-pemimpin aliran itu sendiri. Amar-makruf dan nahi (‘anil) munkar yang biasa dijadikan dalih menghalalkan tindakan kekerasan dan kekejaman, menurut hemat saya, justru merupakan manifestasi atau pengejawentahan dari kasih sayang Islam. Amar makruf dan nahi (‘anil) munkar tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kasih sayang. Amar makruf dan nahi (‘anil) munkar yang dilandasi kebencian, jelas bukan amar makruf nahi (‘anil) munkar yang diajarkan Nabi Kasih Sayang, Rasulullah Muhammad SAW.
Ada lagi, yang melakukan tindak kekerasan dan bahkan pembantaian dengan dalih jihad. Marilah kita lihat kembali jihad menurut contoh dan ajaran Rasulullah SAW. Kalau pun jihad fii sabiilillah dimaknai sempit, yaitu hanya diartikan qitaal, Rasulullah SAW telah memberi contoh dan mengajarkan aturan dan etika qitaal sedemikian bijak . Lagi pula, jihad fi sabiilillah berarti berjuang di jalan agama Allah. Jadi, harus karena dan dengan aturan yang ditentukan Allah. Jihad yang hanya karena nafsu amarah dan kejengkelan, bukanlah jihad fii sabiilillah. Jihad yang ngawur tidak memperhatikan aturan dan tuntunan Rasulullah SAW, bukanlah jihad fii sabiilillah. (Baca misalnya Q. 5: 8; Shahih Bukhari 1/58 Hadits 123; Shahih Muslim 3/1512 Hadits 1904, lihat juga bab Jihad)
Satu lagi berita yang dibesar-besarkan pers. Yaitu, pernikahan Pujiono Cahyo Widianto. Orang kaya yang dipopulerkan pers dengan julukan Syeh Puji ini mengawini gadis cilik Lutviana Ulfa yang belum genap 16 tahun. Seandainya sebelumnya, pengusaha hiasan dinding kaligrafi ini tidak menjadi berita karena membagikan zakat dan tidak mengumumkan pernikahannya tersebut, mungkin tidak akan menjadi berita nasional yang menghebohkan. Mungkin tokoh gundul berjenggot ini mau meniru pernikahan Kanjeng Nabi dengan Sayyidatina Aisyah r.a. Kalau benar demikian, ini satu bukti lagi bahwa dalam meniru atau ittibaa’ Kanjeng Nabi Muhammad SAW, orang cenderung asal saja dan hanya berdasarkan kesenangannya.
Selintas kita telah menengok ke belakang; maka adakah di sana pelajaran yang dapat kita ambil bagi memperbaiki dan menyempurnakan langkah kita selanjutnya ke depan?